• All
  • KHILAFAH
  • SYARIAH
  • JIHAD
  • FUTUHAT
TENTANG KHILAFAH
gravatar

Tak Memperjuangkan Khilafah, Berdosa?

Soal:

Jika menegakkan Khilafah hukumnya fardhu kifayah, apakah tidak cukup hanya dengan kelompok-kelompok yang sudah ada? Apakah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkan Khilafah saat sudah ada yang mengerjakannya?
Jawab:

Hukum mengangkat Khalifah (kepala negara), termasuk mendirikan Khilafah, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum Muslim, yaitu fardhu. Hanya saja, apakah fardhu ‘ain atau fardhu kifayah, memang ada perbedaan pendapat. Al-’Allamah al-Mardawi, dari mazhab Hanbali, dalam Bab Qital Ahl al-Baghy, menyatakan, “Mengangkat Imam (kepala negara) hukumnya fardhu kifayah.” Dalam kitab al-Furu’, dia menegaskan, “Hukumnya fardhu kifayah menurut pendapat yang paling tepat.” Pada bagian yang lain, dia menegaskan kembali, bahwa mengangkat Imam hukumnya fardhu kifayah menurut mazhab yang sahih.[1]

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi, Zakaria al-Anshari, al-Khathib as-Syarbini, az-Zujaji, al-Bujairimi dan al-Jamal bin Sulaiman; semuanya dari mazhab Syafii, bahwa hukum mendirikan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah.[2] Dalam kitab Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Imam an-Nawawi menyatakan:

اَلْفَصْلُ الثَّانِيْ فِيْ وُجُوْبِ الإِمَامَةِ وَبَيَانِ طُرُقِهَا: لاَبُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ، وَيَسْتَوْفِيَ الْحُقُوْقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا. قُلْتُ: تَوَلَّي الإمَامَة فَرْضُ كِفَايَةٍ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِداً، تَعَيَّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.

Pasal Kedua tentang Kewajiban Adanya Imamah (Khilafah) dan Penjelasan tentang Tatacaranya: Umat harus mempunyai seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, membela as-Sunnah, dan membela hak-hak orang yang dizalimi, menunaikan hak-hak dan menempatkannya pada tempatnya. Aku (an-Nawawi) berkata: Mendirikan Imamah (Khilafah) hukumnya fardhu kifayah. Jika tidak ada orang yang layak, kecuali hanya satu, maka kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu ‘ain bagi dirinya. Dia pun harus dicari, jika mereka tidak mulai (dengan) mengangkatnya.[3]

Karena itu, pendapat yang paling kuat (rajih) terkait pendirian Khilafah, hukumnya adalah fardhu kifayah. Pertanyaannya kemudian, apakah tidak cukup dengan kelompok-kelompok yang sudah mengupayakannya, ataukah kaum Muslim masih berdosa jika tidak ikut berjuang menegakkannya saat kelompok yang mengerjakannya hingga sekarang belum berhasil?

Dalam hal ini, Imam an-Nawawi memberikan jawaban:

إِذَا فَعَلَهُ مَنْ تَحْصُلُ بِهِمُ الْكِفَايَةُ سَقَطَ الْحَـرَجُ عَنِ الْبَاقِيْنَ، وَإِنْ تَرَكُوْهُ كُلُّهُمْ أَثِمُوْا كُلُّهُمْ

Jika fardhu kifayah (jihad) itu dikerjakan oleh orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya, maka beban (kewajiban) tersebut telah gugur dari yang lain. Namun, jika mereka semuanya meninggalkannya, maka semuanya berdosa. [4]
Artinya, yang menjadi ukuran bukan yang penting kewajiban tersebut telah dikerjakan, tetapi dikerjakan oleh orang atau sekelompok orang yang mempunyai kapasitas untuk menunaikannya hingga berhasil, baru kewajiban tersebut dinyatakan gugur dari yang lain. Dalam penjelasan lain, tentang amar makruf dan nahi mungkar yang hukumnya juga fardhu kifayah, Imam an-Nawawi menyatakan:

ثُمَّ إِنَّهُ قَدْ يَتَعَيَّنَ كَمَا إِذَا كَانَ فِيْ مَوْضِـعٍ لاَ يَعْلَـمُ بِهِ إِلاَّ هُوَ، أَوْ لاَ يَتَمَكَّنَ مِنْ إِزَالَـتِهِ إِلاَّ هُوَ

Kemudian, kadang-kadang fardhu kifayah itu bisa berubah menjadi fardhu ‘ain, seperti ketika fardhu kifayah (amar makruf/nahi mungkar) ini dalam konteks yang hanya diketahui oleh orang itu, atau tidak mungkin bisa dihilangkan, kecuali oleh dia. [5]

Dengan kata lain, fardhu kifayah  dinyatakan gugur saat benar-benar telah berhasil diwujudkan. Bila tidak, maka fardhu tersebut kembali kepada seluruh kaum Muslim; semuanya dianggap berdosa saat fardhu tersebut belum terwujud. Pada saat itu, masing-masing orang berkewajiban untuk melaksanakannya hingga benar-benar terwujud. Dalam konteks inilah, maka fardhu kifayah bisa berubah menjadi fardhu ‘ain. Ini dipertegas oleh penjelasan Imam al-Baidhawi:

خَاطَبَ الْجَمِيْعَ وَطَلَبَ فِعْلَ بَعْضِهِمْ لِيَدُلَّ عَلَى أَنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْكُلِّ حَتىَّ لَوْ تَرَكُوْهُ رَأْساً أَثِمُوْا جَمِيْعاً وَلَكِنْ يَسْقُطُ بِفِعْلِ بَعْضِهِمْ، وَهَكَذَا كُلُّ مَا هُوَ فَرْضُ كِفَايَةٍ.

(Fardhu kifayah) menyerukan kepada seluruh kaum Muslim, dan meminta dikerjakan oleh sebagian di antara mereka untuk membuktikan, bahwa fardhu tersebut merupakan kewajiban bagi semuanya. Karena itu, saat mereka secara langsung meninggalkannya, maka mereka semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut gugur dengan dikerjakan oleh sebagian di antara mereka. Begitulah ketentuan seluruh fardhu kifayah. [6]

Al-’Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sebagai mujtahid mutlak, telah melakukan ijtihad yang diperlukan untuk merumuskan metode menegakkan kembali Khilafah, yang hukumnya fardhu kifayah. Namun, karena belum ada seorang pun mujtahid sebelum beliau yang merumuskannya, maka ini menjadi fardhu ‘ain bagi beliau. Beliau pun telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya, termasuk mendirikan Hizbut Tahrir bersama sejumlah ulama. Sejak berdiri tahun 1953 hingga sekarang, Hizbut Tahrir telah melakukan perjuangan dengan seluruh potensi dan kemampuannya, termasuk dukungan umat yang terus menguat di lebih dari 40 negara. Namun, hingga saat ini Hizb belum juga berhasil.

Maka dari itu, kewajiban menegakkan Khilafah ini-sebagaimana seruan (khithab) asalnya untuk seluruh kaum Muslim-kembali kepada seluruh umat Islam. Dengan dilaksanakannya kewajiban ini oleh sebagian di antara mereka, yaitu aktivis Hizbut Tahrir bersama umat, maka tetap belum menggugurkan kewajiban ini dari pundak umat Islam. Sebab, kewajiban yang diperintahkan itu belum terwujud. Dengan demikian, mereka yang tidak terlibat dalam kewajiban ini tetap dinyatakan berdosa.

Tepat sekali apa yang dijelaskan oleh al-Imam al-’Allamah as-Syathibi, dalam kitabnya, Al-Muwafaqat:

إنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْجَمِيْعِ.. لأَنَّ الْقِيَامَ بِذَلِكَ الْفَرْضِ قِيَامٌ بِمَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ، فَهُمْ مَطْلُوْبُوْنَ بِسَدِّهَا عَلَى الْجُمْلَةِ، فَبَعْضُهُمْ هُوَ قاَدِرٌ عَلَيْهَا مُبَاشَرَةً، وَذَلِكَ مَنْ كَانَ أَهْلاً لَهَا، وَالْبَاقُوْنَ ـ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرُوْا عَلَيْهَا ـ قَادِرُوْنَ عَلَى إِقَامَةِ الْقَادِرِيْنَ، فَمَنْ كَانَ قَادِراً عَلىَ الْوِلاَيَةِ فَهُوَ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَتِهَا، وَمَنْ لاَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا مَطْلُوْبٌ بِأَمْرٍ آخَر وَهُوَ إِقَامَةُ ذَلِكَ الْقَادِرِ وَإِجْبَارُهُ عَلَى الْقِيَامِ بِهَا، فَالْقَادِرُ إِذاً مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ، إِذْ لاَ يَتَوَصَّلَ إِلَى قِيَامِ الْقَادِرِ إِلاََّ باِلإقَامَةِ؛ مِنْ بَابِ مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاََّ بِهِ.

Fardhu kifayah merupakan kewajiban bagi semua orang…Karena melaksanakan fardhu ini merupakan pelaksanaan kemaslahatan publik. Mereka dituntut untuk menunaikannya secara akumulatif. Sebagian ada yang mampu secara langsung, seperti orang yang mempunyai kelayakan. Sebagian yang lain, sekalipun tidak mampu, tetap mampu mengusahakan orang yang mampu. Orang yang bisa mengangkat pemimpin, ia wajib mengangkatnya. Bagi yang tidak mampu, ia mampu melakukan yang lain, yaitu mengusahakan orang yang mampu, dan memaksanya untuk menegakkannya. Jadi, yang mampu wajib menunaikan kewajiban ini, sedangkan yang tidak mampu wajib mengusahakan orang yang mampu. Sebab, orang yang mampu tidak akan melakukannya, kecuali dengan diupayakan (oleh yang tidak mampu). Ini merupakan bab suatu kewajiban tidak sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib. [7]

Saat ini, satu-satunya masalah yang dihadapi oleh Hizbut Tahrir dalam menegakkan Khilafah adalah dukungan Ahl an-Nushrah. Bagi Ahl an-Nushrah, menegakkan Khilafah saat ini adalah fardhu ‘ain. Mereka berkewajiban  menegakkannya karena mereka adalah orang yang mempunyai kapasitas dan kemampuan. Tugas Hizb adalah terus mencari dukungan dan meyakinkan mereka. Adapun umat secara keseluruhan, yang termasuk kategori kedua, berkewajiban mengupayakan mereka, baik dari kalangan keluarga, orang tua maupun anak-anak mereka. Tidak hanya itu, mereka juga berkewajiban memaksa Ahl an-Nushrah agar mereka segera melaksanakan kewajiban mereka. Jika tidak, maka umat Islam pun menanggung dosa. WalLahu a’lam. [hizbut-tahrir.or.id]

Catatan kaki:
[1] Al-’Allamah ‘Ala’uddin al-Mardawi, Al-Anshaf, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1997, X/271 dan XI/42.

[2] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VIII/368; al-’Allamah Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab bi Syarhi Minhaj ath-Thullab, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, II/185; al-’Allamah al-Khathib as-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfadz Abi Syuja’, Dar al-Fikr, Beirut, 1998, II/437; al-’Allamah al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khathib; al-’Allamah al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal.

[3] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Rawdhah ath-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., VIII/368.

[4] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, XIII/8.

[5] Al-Imam al-’Allamah an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, II/19.

[6] Al-Imam al-’Allamah al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., II/68.

[7] Al-Imam al-’Allamah as-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., I/119.
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

Khalifah Wakil Umat Dalam Pemerintahan Dan Penerapan Syariah

Oleh: Muhammad Bajuri

Pengantar

Khalifah adalah kepala negara Islam, yang disebut juga dengan Amîrul Mu’minîn (pemimpin kaum beriman) dan al-Imâmul A’dzam (pemimpin tertinggi). Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas dalam kekuasaan dan pemerintahan, serta tidak ada seorang pun yang menyekutuinya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw:

فَاْلإِمَامُ الأَعْظَمُ الذِّي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَتِهِ

“Pemimpin tertinggi (al-Imâmul A’dzam) masyarakat adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).
Artinya semua urusan yang terkait dengan pemeliharaan urusan rakyat dan negara merupakan kewenangan al-Imâmul A’dzam (pemimpin tertinggi), yakni Khalifah. Oleh karena itu, asy-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullâh berkata: “Asas Daulah Islam adalah Khalifah. Sedang yang lainnya adalah wakil Khalifah atau tim penasihat (mustasyâr) baginya. Dengan demikian, Negara Islam adalah Khalifah yang menerapkan sistem Islam.” (an-Nabhani, ad-Daulah al-Islâmiyah, hlm. 231).

Lalu, Khalifah ini mewakili siapa ketika menjalankan kewenangan dan otoritasnya yang begitu besar dalam kekuasaan dan pemerintahan, serta  dalam penerapan sistem Islam?

Telaah kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 24, yang berbunyi: “Khalifah mewakili umat dalam pemerintahan dan penerapan syariah.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 124).

Terkait dengan Khalifah ini mewakili siapa ketika menjalankan kewenangan dan otoritasnya dalam kekuasaan dan pemerintahan, serta  dalam penerapan sistem Islam, maka dalam hazanah pemikiran Islam kita temukan pendapat-pendapat ulama sebagai berikut:

Khalifah Wakil Allah

Ini adalah pendapat sebagian ulama, di antanya az-Zujad, seperti yang dikatakan Ibnu Mandzur dalam “Lisânul Arab” bahwa boleh para imam (Khalifah) disebut dengan para wakil (pengganti) Allah di muka bumi. Dalilnya adalah firman Allah: “Hai Daud, sesungguhnya Kami  menjadikan kamu Khalifah di muka bumi.” (TQS. Shad [38] : 26). Bahkan berdasarkan firman Allah: “Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi.” (TQS. Al-An’am [6] : 165), ada sebagian ulama yang membolehkan Khalifah dipanggil dengan: “Yâ khalîfatullâh, hai wakil (pengganti) Allah.” (Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 25).

Sementara al-Baghawi membolehkan sebutan khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah itu hanya kepada Nabi Adan dan Dawud-‘alaihimâs salâm-saja, tidak untuk selain keduanya. Beliau berkata: “Dan tidak seorang pun dinamakan khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah sesudah keduanya.” (al-Qalqasyandi, Mâtsirul al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, 1/8).

Sedang al-Imam az-Zamakhsyari memboleh sebutan khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah itu kepada semua Nabi selain keduanya. Ketika menjelaskan firman Allah “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.“(TQS. Al-Baqarah [2] : 30), Beliau berkata: “Firman Allah ini boleh diartikan dengan wakil atau pengganti-Ku (khalîfah minni), sebab Adam itu khalîfatullâh, wakil atau pengganti Allah di muka bumi, begitu juga setiap Nabi.” (az-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, 1/271).

Pendapat bahwa “Khalifah wakil Allah” ini lemah, dan penggunaan ayat-ayat tersebut sebagai dalil bukan pada tempatnya. Sebab pembahsan di sini tentang sandaran jabatan Khilafah, yakni “Kepemimpinan umum bagi semua kaum Muslim di dunia guna menerapkan syariah Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia”, bukan tentang Khalifah secara mutlak. Jadi, masalahnya berbeda.

Oleh karena itu, mayoritas ulama melarang sebutan tersebut, bahkan orang yang mengatakannya disebut fâjir (pelaku maksiat). Mereka berkata: “Khalifah itu menggatikan orang yang tiada atau meninggal, sedang Allah tidak ghaib dan tidak meninggal.” Khalifah Abu Bakar menolak ketika dikatakan kepadanya: “Yâ khalîfatullâh, hai wakil (pengganti) Allah.” Abu Bakar dengan tegas berkata: “Aku bukan khalîfatullâh, wakil (pengganti) Allah, namun aku pengganti Rasulullah.” (al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 15). Begitu juga Umar bin Khattab, dalam hal ini, beliau bersikap tegas menolak sebagaimana Abu Bakar. Sikap tegas Abu Bakar dan Umar menunjukkan bahwa telah ada Ijma ‘ Sahabat yang melarang penamaan pemimpin negara Islam dengan sebutan khalîfatullâh, wakil (pengganti) Allah.

Dengan begitu, gugurlah hujjah mereka yang berpendapat bahwa Khalifah adalah wakil Allah (khalîfatullâh). Khalifah bukan wakil Allah, apapun alasannya. Sehingga penggunaan sebuat “khalîfatullâh” secara mutlak tidak boleh berdasarkan syariah (al-Khalidi, Qawa’id Nidzam al-Hukmi fil Islam, hlam. 232).

Khalifah Wakil Nabi Saw

Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Ibnu Khaldun, Abu Ya’la, al-Mawardi, al-Baidhawi, Aduddin al-Iji, an-Nawawi dan Ibnu Taimiyah (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 231). Mereka menggunakan sebutan Khalifah kepapa setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim, sebab ia menggantikan Rasulullah dalam mengurusi umatnya. Sehingga setiap Khalifah disebut dengan “Khalifah Rasulullah, pengganti Rasulullah”. Oleh karena itu mereka sepakat bahwa “Imamah itu dibuat untuk khilafah nubuwah (kepemimpinan Nabi) dalam menjaga agama dan mengatur dunia.” (al-Mawardi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm. 5).

Dalil mereka yang berpendapat bahwa Khalifah wakil Nabi adalah perkataan Abu Bakar. Ketika dikatan kepada Abu Bakar: “Yâ khalîfatullâh, hai wakil (pengganti) Allah.” Abu Bakar dengan tegas berkata:

لَسْتُ بِخَلِيْفَةِ اللهِ، وَلَكِنيِّ خَلِيْفَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku bukan khalîfatullâh, wakil (pengganti) Allah, namun aku pengganti Rasulullah Saw.” (al-Qurthubi, Tafsîr al-Qurthubi, 14/355).
Pendapat ini juga lemah karena tidak didukung oleh dalil yang kuat. Sebab jelas sekali dengan mengkaji fakta sejarah bahwa Abu Bakar bukan wakil Nabi Saw. Bahkan tidak ada satu pun nash yang menujukkan bahwa Rasulullah mengangkat Abu Bakar untuk menggantikannya dalam mengurusi semua urusan kaum Muslim. Akan tetapi, Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah memalui proses pemilihan yang dilakukan kaum Muslim di Saqifah Bani Saidah, lalu beliau benar-benar menjadi Khalifah dengan baiat kaum Muslim. Sebab syara’ telah menjadikan kekuasaan di tangan umat, sehingga umat dapat membaiat siapa saja yang dikehendaki untuk mewakilinya dalam kekuasaan (Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 27).

Sementara perkataan Abu Bakar “Khalîfah Rasulullah” adalah majazi bukah sesungguhnya. Dalam arti bahwa beliau datang setelah Rasulullah dalam mengurusi urusan kaum Muslim, dan beliau tidak menjadi Khalifah karena diangkat Nabi Saw untuk menggantikannya. Jika tidak demikian, tentu Umar, Utsman dan Ali disebut dengan “Khalîfah Rasulullah“. Namun hal ini tidak pernah terjadi sama sekali, dan tidak seorang pun mengatakannya (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 233).

Khalifah Wakil Khalifah Sebelumnya

Al-Qalqasyandi berkata: “Sesungguhnya jabatan Khilafah itu terkadang didapat oleh seorang Khalifah dari Khalifah sebelumnya.” Sehingga dikatakan Fulan menggantikan Fulan secara berurutan hingga berakhir pada Abu Bakar radhiyallâhu ‘anhu. Lalu, beliau disebut dengan “Khalîfah Rasulullah Saw“. Karenanya di awal berkuasa, Umar dipanggil dengan “Khalîfah Khalifah Rasulullah Saw“. (al-Qalqasyandi, Mâtsirul al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, 1/6).

Ketika menjelaskan firman Allah “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.“(TQS. Al-Baqarah [2] : 30), ath-Thabari berkata: “Khalifah yang sesungguhnya berasal dari perkataanmu, Fulan menggantikan Fulan dalam perkara ini ketika ia menjalankan perkara itu sesudahnya. Dari sini, maka Penguasa Tertinggi (as-Sulthân al-A’dzam) disebut dengan Khalifah, sebab ia menggantikan penguasa sebelumnya. Kemudian ia menduduki kekuasaan menggantikannya. Dengan demikian, ia khalifah (wakil atau pengganti) sebelumnya.” (ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabari, 1/153 ).

Mereka yang berpendapat dengan pendapat ini sama sekali tidak memiliki hujjah, baik al-Qur’an maupunn al-Hadits. Mereka memahami hal itu hanya berdasarkan pada pengertian kata “khalîfah” menurut bahasa. Padahal arti bahasa saja tidak cukup dalam hal ini. Sebab masalahnya terkait dengan kepemimpinan negara tidak dengan pengangkatan pengganti (al-istikhlâf), dan tidak pula dengan sistem putra mahkota (wilâyah al-‘ahd), sehingga dikatakan bahwa Khalifah adalah wakil Khalifah sebelumnya. Apalagi, sistem putra mahkota (wilâyah al-‘ahd), dan pengangkatan pengganti (al-istikhlâf) tidak diakui dalam sistem pemerintahan Islam, bahkan sangat bertentangan. Sebab dalam sistem pemerintahan Islam kekuasaan berada di tangan umat, bukan di tangan khalifah. Dengan demikian pendapat ini pun tertolak sebagaimana pendapat-pendapat sebelumnya (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 233; Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 26).

Khalifah Wakil Umat

Pendapat ini adalah pendapat yang râjih (kuat), sebab Khalifah itu bukan wakil Allah SWT, bukan wakil Nabi Saw, dan tidak pula terbayangkang secara syar’iy dan akal bahwa Khalifah adalah wakil dari Khalifah sebelumnya. Khalifah tidak lain adalah wakil umat bukan yang lainnya. Umat yang membaiat Khalifah untuk memimpin pemerintahan dan kekuasaan menggantikan atau mewakilinya. Mengingat, umat dituntut untuk menerapkan hukum Islam, menegakkan hudûd (sanksi hukum pidana), menyiapkan tentara, berjihad, menaklukkan negeri dan lain-lainnya. Allah SWT berfirman:

 إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (TQS. An-Nisâ’ [4] : 58).

Dan firman-Nya:

 وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.” (TQS. Al-Mâidah [5] : 38).

Allah SWT berfirman:

 وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً

“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya.” (TQS. At-Taubah [9] : 36).

Dan firman-Nya:

 وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” (TQS. Al-Anfâl [8] : 60).

Khithâb atau seruan dalam ayat-ayat tersebut ditujukan pada umat. Sebab kekuasaan berada di tangan umat. Akan tetapi, syara’ mengharuskan Khalifah saja yang memiliki otoritas menerapkan hukum Islam mewakili umat. Dengan demikian, realitasnya bahwa Khalifah adalah wakil umat dalam kekuasaan dan penerapan syariah Islam. Mengingat seseorang tidak akan menjadi Khalifah kecuali dengan dibaiat oleh umat, maka baiat ini saja sudah cukup menjadi dalil bahwa Khalifah adalah wakil dari umat (al-Khalidi, Qawâ’id Nidzâm al-Hukmi fil Islâm, hlam. 234; Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H/Pebruari 1995 M, hlm 28; dan An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 125).

Dengan ketentuan UUD negara Islam pasal 24 ini, maka terjawab sudah kekhawatiran sebagian orang bahwa Khalifah yang insya Allah tidak lama lagi akan terwujudkan akan memimpin dengan sewenang-wenang dan diktator. Sebab Khalifah itu tidak memiliki kekuasaan, dan pemilik kekuasaan adalah umat. Keberadaa Khalifah tidak lain hanyalah menjadi wakil umat. Sehingga umat dapat mengambil kembali kekuasaannya, kapanpun umat mau ketika Khalifah tidak lagi bisa menjaga amanahnya. WalLâhu a’lam bish-shawâb.(hizbut-tahrir.or.id)

Daftar Bacaan

Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukarram bin Ali Abu al-Fadhal Jamaluddin, Lisânul Arab, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-Arabi), tanpa tahun.

Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Qawâid Nizâmul Hukm fil Islâm, (Beirut:Maktabah al-Muhtasib), Cetakan II, 1983.

Majalah al-Khilafah al-Islamiyah, No. 2, Ramadhan 1315 H /Pebruari 1995 M.

Al-Mawardi, Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habin al-Bashri al-Baghdadi, al-Ahkâm as-Sulthâniyah, (Beirut: Dar al-Fikr), Cetakan I, 1960.

An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Ad-Daulah al-Islâmiyah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.

Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid, Tafsîr ath-Thabari, (Beirut: Muassasah ar-Risalah), Cetakan I, 2000.

Al-Qalqasyandi, Ahmad bin Abdullah, Mâtsirul al-Inâfah fi Ma’âlim al-Khilâfah, (Kuwait: Mathba’ah Hukumah al-Kuwait), Cetakan II, 1985.

Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah al-Anshari Abu Abdillah, Tafsîr al-Qurthubi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), tanpa tahun.

Az-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawarizmi, Tafsîr al-Kasysyâf, (Beirut: Dar al-Fikr), tanpa tahun.
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

Meneladani Kesederhanaan Para Khalifah

Filosofi-filosofi sesat dalam sistem politik demokrasi telah menyesatkan banyak politisi yang terlibat dan berkecimpung di dalamnya. Sebagai permisalan konsep dasar demokrasi ‘kedaulatan di tangan rakyat’ telah menjadikan banyak politisi muslim terjebak dalam kesyirikan dan dosa. Mereka melegislasi perundangan dan hukum berdasarkan selera dan keinginan mayoritas bukan berdasarkan al Quran dan as Sunnah. Disadari atau tidak para politisi ini telah menjadikan manusia, tepatnya diri mereka sendiri sejajar dengan Allah sebagai pembuat hukum nau’dzubillah! Mereka pun telah berdosa karena produk undang-undang yang mereka sepakati banyak bertentangan dengan keyakinan dan hukum-hukum yang seharusnya mereka laksanakan atau diingkari sebagai muslim

Adagium “tidak ada lawan abadi, tidak ada kawan abadi yang ada hanyalah kepentingan abadi” telah menjadikan para penganut dan pejuang demokrasi bersikap munafik sepanjang kehidupan politik mereka. Politisi dan partai yang semula menyerukan Islam, tanpa harus merasa berdosa mengumumkan bahwa syariat Islam tidak lagi cocok diterapkan di negeri ini. Bersekutu dengan para politisi dan partai yang sekuler bukan lagi perkara yang harus dipersoalkan sepanjang hal itu dilakukan demi suara mayoritas dalam pemilu.

Para politisi dan pejabat dalam sistem demokrasi tidak lagi memandang jabatan dan kekuasan sebagai amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan mahkamah Allah SWT yang tidak ada pembela pada hari itu kecuali amal kebaikan yang telah dilakukannya semasa hidup di dunia.

Bagi mereka, jabatan adalah identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Makanya gaya hidup mereka pun harus menyesuaikan dengan citra tersebut. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkannya. Dengan begitu, bukan saja mereka akan menjadi kaya raya dan hidup bergelimang dengan kemewahan tetapi juga menjadi selebriti, terkenal, dan dalam waktu sekejap menjadi orang yang dihormati. Lengkap dengan privasi dan pengawalan yang ketat.

Walhasil, gaya hidup mewah mewarnai kehidupan hampir semua penguasa kaum Muslim. Mulai dari pakaian, kediaman, kantor hingga mobil dinas dengan harga ratusan juta hingga milyaran rupiah. Ini tidak bisa dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap kedudukannya.

Kesederhanaan Khalifah Abu Bakar ash Shidiq r.a

Berbeda dari falsafah-falsafah politik dalam system demokrasi, falsafah politik dalam sistem Khilafah Islamiyah telah membantu politisi yang hidup di dalamnya tetap bertaqwa dan bersikap amanah dalam memegang jabatannya.

Jabatan dan kekuasaan adalah amanah. demikian salah satu falsafah politik dan jabatan dalam Islam. Hal ini sebagaimana Rasulullah SAW nasehatkan kepada Abu Bakar ra:” “Hai Abu Bakar, urusan kedudukan itu adalah untuk orang yang tidak menginginkannya, bukan untuk orang-orang yang menonjol-nonjolkan diri dan memburunya. Ia adalah bagi orang yang memandang kecil urusan itu dan bukan bagi orang yang mengulur-ulurkan kepalanya untuk itu.”

Rasulullah pun sudah menjelaskan: “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanat dan pada hari akhirat kepemimpinan itu adalah rasa malu dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan haq serta melaksanakan tugas kewajibannya.” (HR. Muslim).

Bertolak dari falsafah ini Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq di hari pembaitannya berpidato di hadapan rakyatnya “Hai umat, aku telah diangkat untuk memerintahmu. Sebenarnya aku terpaksa menerimanya. Aku bukanlah orang yang terpandai dan termulia dari kamu. Bila aku benar dukunglah bersama-sama, tetapi jika aku menyimpang dari tugasku, betulkanlah bersama-sama. Jujur dan lurus adalah amanat, sedang bohong dan dusta adalah penghianatan.”

Pidato beliau ini bukanlah pencitraan dan lipstick semata. Selama beliau berkuasa dengan berbagai prestasi yang dicapainya beliau tetap sederhana jauh dari sikap berfoya-foya dan pamer kekayaan. Dengan penuh ketaqwaan beliau tetap waspada dan berhati-hati terhadap amanah kekuasaan yang dipegangnya.

Kesederhanaan beliau nampak dari sepenggal kisah berikut ini. Alkisah, suatu hari Abu Bakar keluar ke Pasar Madinah memakai baju dari kulit kambing. Ketika kejadian itu dilihat keluarganya, mereka buru-buru datang kepada Abu Bakar dan berkata: “Hai khalifah, engkau sungguh-sungguh membuat malu kami di mata kaum muhajirin, Anshar, dan orang Arab.” Lalu Abu Bakar menjawab: “Apakah kamu bermaksud agar aku menjadi seorang Raja yang angkuh di zaman Jahiliyah dan angkuh di zaman Islam?”

Ketika Abu Bakar hendak meninggal, ia berkata kepada putrinya Aisyah: “Hai Aisyah, unta yang kita minum susunya, juga bejana tempat kita mencelupkan pakaian, serta baju qathifah yang saya pakai, semuanya hanya dapat kita gunakan selama saya berkuasa. Dan bila aku meninggal, seluruhnya harus dikembalikan kepada Umar.” Maka ketika Abu bakar meninggal, Aisyah mengembalikan semua barang tersebut kepada Umar bin Khaththab.

Kisah yang lainnya, tatkala seorang wanita kampung bernama Unaisar berkata: “Hai Abu Bakar, apakah engkau masih dapat menolong kami memerah susu kambing seperti sebelum menjadi khalifah?” Jawab Abu Bakar: “Insya Allah aku akan tetap bersedia menolong kamu.” Demikianlah sosok Abu Bakar sebagai kepala negara yang telah berhasil menaklukkan dua kerajaan besar (Syiria dan Persia) masih menyediakan waktu untuk memeraskan susu kambing untuk para wanita sekampungnya.

Kesederhanaan Khalifah Umar Bin Al Khaththab r.a

Kesederhanaan Abu Bakar sebagai pemimpin Negara menjadi suri tauladan bagi para khalifah setelahnya. Umar bin al Khathab khalifah setelahnya dikenal sebagai sosok yang sangat tegas dalam mentaati syariah Islam dan tegas pula dalam hal menjaga diri, keluarga dan para pejabat di pemerintahannya untuk tidak menyelewengkan kekuasaan demi kepentingan pribadi.

Umar bin al Khathtab pernah memaksa putranya Abdullah bin Umar untuk segera menjual unta gemuk putranya itu yang digembalakan di tanah milik Negara dan mengembalikan seluruh hasil penjualannya ke dalam kas Negara (baitul maal). Khalifah Umar tidak menginginkan anak-anaknya bersikap aji mumpung memanfaatkan fasilitas Negara selama beliau berkuasa.

Kesederhanaan beliau juga tercermin  dalam kisah berikut ini. Suatu saat, sejumlah Sahabat di antaranya Utsman, Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam dan Thalhah ra berunding untuk mengusulkan agar santunan untuk Khalifah Umar ra dinaikkan karena dianggap terlalu kecil. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang berani mengajukan usul tersebut kepada Khalifah Umar ra yang terkenal sangat tegas dan ‘keras’. Mereka khawatir usulan itu tidak diterima. Akhirnya, mereka menemui Hafshah ra, Ummul Mukminin, salah seorang istri Baginda Nabi SAW yang tidak lain putri Umar ra. Saat Hafsah menyampaikan pesan mereka terkait dengan usulan kenaikan santunan untuk Khalifah tersebut, Umar  tampak seperti menahan marah. Beliau dengan nada agak keras bertanya, “Siapa yang berani mengajukan usulan itu?”

Hafshah tidak segera menjawab, selain berkata, “Berikan dulu pendapat Ayah.”

Umar ra berkata, “Seandainya saya tahu nama-nama mereka, niscaya saya pukul wajah-wajah mereka!”

“Hafshah, sekarang coba engkau  ceritakan kepadaku tentang pakaian Nabi SAW yang paling baik, makanan paling lezat yang biasa beliau makan dan alas tidur paling bagus yang biasa beliau pakai di rumahmu,” kata Umar lagi.

Hafshah menjawab, “Pakaian terbaik beliau adalah sepasang baju berwarna merah yang biasa beliau pakai pada hari Jumat dan saat menerima tamu. Makanan terlezat beliau adalah roti yang terbuat dari tepung kasar yang dilumuri minyak. Tempat alas tidur terbagus beliau adalah sehelai kain agak tebal, yang pada musim panas kain itu dilipat empat dan pada musim dingin dilipat dua; separuh beliau jadikan alas tidur dan separuh lagi beliau jadikan selimut.”

“Sekarang, pergilah. Katakanlah kepada mereka, Rasulullah SAW telah mencontohkan hidup sangat sederhana dan merasa cukup dengan apa yang ada demi mendapatkan akhirat. Aku akan selalu mengikuti jejak beliau. Rasulullah, Abu Bakar dan aku bagaikan tiga orang musafir. Musafir pertama telah sampai di tujuan seraya membawa perbekalannya. Demikian pula musafir kedua, telah berhasil menyusulnya dan sampai di tujuannya. Aku, musafir ketiga, masih sedang dalam perjalanan. Seandainya aku bisa mengikuti jejak keduanya, tentu aku akan bertemu dengan mereka. Sebaliknya, jika aku tidak mampu mengikuti jejak keduanya, aku tidak akan pernah bertemu mereka,” tegas Umar lagi.

Pada saat lain, ketika beliau sedang asyik makan roti, datanglah Utbah bin Abi Farqad ra. Utbah pun beliau persilakan masuk sekaligus beliau ajak untuk ikut makan roti bersama. Roti itu ternyata terlalu keras sehingga Uthbah tampak agak kesulitan memakannya. “Andai saja engkau membeli makanan dari tepung yang empuk,” kata Uthbah.

Khalifah Umar malah bertanya, “Apakah setiap rakyatku mampu membeli tepung dengan kualitas yang baik?”

“Tentu tidak,” jawab Uthbah ra.

“Kalau begitu, engkau telah menyuruhku untuk menghabiskan seluruh kenikmatan hidup di dunia ini,” tegas Umar.

*****

Umar bin Al Khaththab tidak hanya memberlakukan kesederhanaan pada dirinya semata, namun juga terhadap para pejabat di pemerintahannya sebagaimana kisah diatas.

Itulah Khalifah Umar ra., penguasa Muslim yang wilayah kekuasaannya saat itu adalah seluruh jazirah Arab, Timur Tengah, bahkan sebagian Afrika. Kebe-saran kekuasan beliau tentu jauh lebih besar daripada kekuasaan para raja Arab saat ini. Namun, semua itu ternyata tidak otomatis menjadikan beliau kaya-raya serta bergelimang harta dan kemewahan, sebagaimana para penguasa Arab saat ini; juga sebagaimana penguasa dan para pejabat Muslim di negeri ini, yang hampir setengah rakyatnya (sekitar 100 juta orang) tergolong miskin.

Kesederhanaan Khalifah Ali Bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib (sa), selain dalam kehidupan pribadinya, ia adalah orang yang zuhud (sederhana dalam hidup), beliau memandang bahwa zuhud bagi penguasa merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, “Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat perlunya aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga orang-orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat yang berlebihan.” (Biharul Anwar, jilid 40, hlm. 326)

Imam Ali bin Abi Thalib (sa) memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham. Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, “Wahai Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?” Beliau berkata, “Pakaian yang menjadi contoh bagi Mukminin menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu’, menyampaikan manusia kepada tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menyebabkan kesombongan. Alangkah baiknya kalau Muslimin mencontohnya.” (Biharul Anwar, jilid 4, hlm 323)

Dalam suratnya kepada Usman bin Hunaif, Imam Ali (sa) menyatakan: “Setiap makmum memiliki imam yang diikutinya dan dimanfaatkan cahaya ilmunya. Ketahuilah bahwa imam kalian qanaah ‘merasa cukup’ dengan dua pakaian yang sudah tua dan makanan dengan dua keping roti. Namun, kalian tidak mampu menerima hal seperti itu. Maka, bantulah aku dalam menjauhi dosa dan jihad nafs serta menjaga iffah (kesucian diri) dan kebenaran. Demi Tuhan! Dari dunia kalian, aku tidak menyimpan sedikit pun dan dari ghanimah (harta rampasan perang), aku tidak menyimpan sesuatu apa pun. Aku tidak membeli pakaian karena cukup dengan pakaian tuaku. Adakah aku cukup puas dengan masyarakat yang memangilku Amirul Mukminin tetapi tidak menyertai mereka dalam penderitaan dan kesulitan hidup serta tidak menjadi contoh dalam menahan kesulitan-kesulitan? Aku tidaklah diciptakan untuk disibukkan dengan makanan-makanan yang enak, seperti binatang ternak yang kehidupannya hanyalah untuk makan rumput atau binatang liar yang sibuk makan dan lupa dengan masa depannya.” (Nahjul Balaghah, surat nomor 45)

Di bagian lain dari surat yang sama, beliau menyatakan: “Apabila meghendaki, aku tahu bagaimana caranya membuat madu yang telah disaring, biji gandum dan pakaian sutera. Namun, semoga hawa nafsu tidak mengendaraiku dan kerakusan tidak menyeretku kepada berbagai jenis makanan. Padahal, mungkin Badui Hijaz atau Yaman tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan makanan roti dan tiada pernah mengenyangkan perut mereka sedangkan aku tidur dengan perut yang kenyang sementara di sekelilingku, banyak perut yang lapar dan kerongkongan yang haus.” (Nahjul Balaghah, surat 45)

******

Demikianlah tauladan kesederhanaan para pemimpin dalam system Khilafah Islamiyah. Mereka adalah para pemimpin yang faqih dalam agama, memiliki keimanan yang kokoh terhadap akhirat. Cakap dalam memimpin dan memberi tauladan kepada para pegawai dan pejabat di bawahnya beserta segenap rakyatnya. Mereka adalah para pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya disegani para lawannya. Hanya musuh-musuh Alloh saja yang membenci keberhasilan mereka.

Pemimpin dan pejabat Negara yang demikian tidak akan pernah ada dalam system rusak seperti demokrasi sekarang ini. Yang terjadi sebaliknya orang yang secara pribadi sholeh tidak akan bisa lepas dari debu-debu kesesatan demokrasi pada saat mereka berkecimpung di dalamnya. Wallohu ‘alam bii ash shaawab.(hizbut-tahrir.or.id)
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

PERANG AHZAB

Berbagai peperangan dan sikap tegas Rasulullah saw setelah perang Uhud, memiliki pengaruh sangat besar dalam menyebarluaskan kewibawaan  kaum Muslim, memperkokoh Daulah  Islam,
memperluas pengaruh kaum Muslim, mengagungkan kekuasaan mereka, dan menggentarkan  kawasan  jazirah  Arab.  Apabila  bangsa Arab mendengar  nama  Rasul  saw  hendak menyerang mereka  atau menggertaknya, maka serta merta mereka tunggang langgang melarikan diri, sebagaimana yang dialami pada Bani Ghathfan dan pada peristiwa Daumah al-Jandal.

Kafir Quraisy  sangat  takut untuk menghadapi  kaum Muslim, seperti  yang  terjadi pada  perang Badar  kedua. Kondisi  semacam  ini memungkinkan kaum Muslim bisa mewujudkan kehidupan yang tentram di Madinah dan mengatur kehidupan mereka dalam naungan cahaya baru  yang ada  bagi  kaum Muhajirin,    setelah mereka memperoleh ghanimah Bani Nadhir dan mendistribusikan tanah, kebun kurma, rumah-rumah, termasuk berbagai perkakas kepada mereka. Meskipun demikian, mereka tidak condong pada kehidupan dunia, yang bisa memalingkannya dari keberlangsungan jihad, karena jihad wajib hingga hari Kiamat. Hal itu hanya menjadikan  kondisi  kehidupan mereka  lebih baik, mantap, dan aman dibandingkan sebelumnya. Rasul saw sendiri berada dalam ketentraman dan tetap waspada terhadap tipudaya musuh. Beliau terus-menerus menyebarkan mata-mata dan tim pengintai beliau ke seluruh penjuru  jazirah Arab. Mereka  selalu mengirimkan berbagai  informasi kepada  beliau mengenai  kondisi  bangsa Arab  dan  persekongkolan mereka,  sehingga ada  kesempatan bagi beliau untuk mempersiapkan diri mengahadapi musuh. Dengan begitu beliau mengetahui betul rencana dan  berbagai uslubnya, serta persiapan untuk menghadapinya. Terutama karena musuh-musuh kaum Muslim semakin banyak di jazirah, setelah beliau memiliki kekuasaan yang menggentarkan seluruh bangsa Arab. Juga setelah berhasil mengusir Yahudi Bani Qainuqa’ dan Bani Nadhir dari Madinah, serta setelah berhasil memukul mundur kabilah-kabilah Arab, seperti Bani Ghathfan, Hudzail dan yang lainnya dengan pukulan yang mematikan.

Karena  itu,  Rasul  saw  senantiasa waspada  dengan  cara mencermati  informasi mengenai bangsa Arab  hingga  sampai  kabar kepada beliau tentang kafir Quraisy dan sebagian kabilah yang bersekutu untuk menyerang  kota Madinah. Beliau  segera menyiapkan pasukan untuk menyongsong mereka. Sebab,  setelah Bani Nadhir  diusir oleh Rasulullah dari  kota Madinah, menyeruak dalam  jiwa mereka pikiran busuk untuk membangkitkan perselisihan bangsa Arab kepada Rasul saw, sehingga mereka memberontak kepadanya.

Untuk melaksanakan rencananya tersebut, beberapa orang Yahudi Bani Nadhir keluar dari pengungsiannya untuk menemui kafir Quraisy Makkah. Mereka adalah Hayyi bin Akhthab, Salam bin Abi al-Haqiq, dan Kinanah bin Abi al-Haqiq. Turut bergabung pula beberapa orang dari Bani Wail Hawadzah bin Qayis dan Abu ‘Ammar. Penduduk Makkah bertanya  kepada Hayyi  tentang  kaumnya. Dia menjawab,  “Aku meninggalkan mereka di antara Khaibar dan Madinah. Mereka dalam keadaan kebingungan hingga kalian datang menemui mereka, lalu kalian berangkat  bersama mereka  untuk menghancurkan Muhammad  dan kawan-kawannya”.  Mereka  bertanya pula tentang Bani Quraizhah, lalu dia menjawab,  “Mereka masih  tinggal  di  kota Madinah  dan  tengah membuat makar  untuk menyerang Muhammad,  hingga  kalian mendatangi mereka, lalu mereka akan  bergabung dengan kalian”.

Orang-orang Quraisy ragu-ragu apakah harus menerima tawaran tersebut  kemudian maju menyerang ataukah menolak. Sebab, antara mereka dan Muhammad  sebenarnya  tidak  ada  perselisihan  kecuali menyangkut  dakwah  yang menyerukan  kepada Allah. Bukan  tidak mungkin dialah yang berada dalam kebenaran? Karena  itu, kafir Quraisy bertanya kepada Yahudi: “Hai orang-orang Yahudi, kalian adalah Ahlu Kitab  yang pertama dan mengetahui persoalan  yang membuat  kami berselisih dengan Muhammad. Apakah agama kami ataukah agamanya yang lebih baik?”

Orang-orang Yahudi itu menjawab:”Tentu agama kalian lebih baik daripada agamanya, dan kalian lebih berhak atas kebenaran itu.”

Padahal  Yahudi  yang  beragama  tauhid  itu,  sebenarnya mengetahui bahwa agama Muhammad adalah benar. Akan  tetapi, karena keinginan mereka yang kuat untuk membangkitkan kebencian orang Arab, menjadikan mereka membiarkan diri dalam kesalahan yang menjijikan tersebut.  Ini adalah  noda  yang bersifat abadi. Mereka meneriakkan kebohongan dengan mengatakan bahwa menyembah berhala jauh lebih baik daripada tauhid. Mereka tetap melakukannya dan akan melakukan hal lainnya yang serupa. Setelah puas meyakinkan kafir Quraisy dengan pendapat mereka,  kaum Yahudi pergi  ke Ghathfan dari  kabilah Qais ‘Ailan, ke Bani Murrah, Bani Fuzarah, Bani Asyja’, Bani Salim, Bani Sa’ad, Bani Asad,  dan  kepada  siapa  saja  yang menyimpan  rasa  dendam terhadap  kaum  Musl im.  Kaum  Yahudi  itu  tak  henti-hentinya membangkitkan kebencian kabilah-kabilah tersebut dan mengingatkan mereka  tentang keikutsertaan kafir Quraisy dalam memberi dukungan untuk memerangi Muhammad. Mereka memuji  dan menyanjung-nyanjung  orang-orang Arab  tersebut  serta menjanjikan  pertolongan terhadap mereka.

Demikianlah  yang mereka  lakukan,  hingga akhirnya mereka berhasil menghimpun suku-suku Arab untuk memerangi Rasul. Kabilah-kabilah Arab kemudian berkumpul dan keluar bersama-sama kafir Quraisy mendatangi Madinah.

Kaum Quraisy keluar di bawah pimpinan Abu Sufyan dengan 4.000 pasukan, 300 pasukan berkuda dan 1.500 pasukan penunggang unta. Bani Ghathfan keluar di bawah pimpinan ‘Uyainah ibnu Hashan bin Hudzaifah beserta rombongan dalam jumlah yang banyak dan 1.000 orang pasukan penunggang unta. Bani Asyja’ keluar dengan 400 orang pasukan di bawah pimpinan Mas’ar bin Rakhilah. Bani Murrah keluar juga dengan 400 pasukan di bawah kendali al-Harits bin ‘Auf. Salim dan penduduk Bi’ru Ma’unah datang dengan membawa 700 orang pasukan. Mereka berkumpul  dan bergabung pula Bani Sa’ad  dan Bani Asad sehingga  keseluruhannya berjumlah  sekitar 10.000 orang. Semuanya bergerak menuju kota Madinah di bawah komando Abu Sufyan.

Ketika  berita  keberangkatan  pasukan  gabungan musuh  yang sangat  besar  ini  sampai  kepada Rasul  saw, beliau  segera mengambil keputusan untuk membentengi Madinah. Salman al-Farisi mengusulkan untuk menggali parit di sekeliling Madinah, dan membuat benteng di sisi dalamnya. Kemudian parit itu pun digali dan Nabi saw sendiri juga ikut serta menggalinya. Beliau menggali  tanah  sambil memberi  semangat kepada  kaum Muslim  dan mengajak mereka agar melipatgandakan kesungguhannya. Pembuatan parit akhirnya rampung dalam enam hari. Tembok-tembok rumah yang menghadap langsung ke arah musuh dijaga. Rumah-rumah hunian yang berada di belakang parit dikosongkan. Kaum wanita dan anak-anak dibawa dan dikumpulkan dalam rumah-rumah yang dijaga. Rasul saw kemudian keluar bersama 3.000 orang pasukan. Kemudian  beliau menjadikan punggungnya mengarah  ke  anak bukit sementara  parit dijadikan batas pemisah antara dirinya dan pasukan musuh. Di sanalah ditempatkan pasukannya, lalu didirikan kemah-kemah dengan warna merah.

Kafir Quraisy dan pasukan gabungannya (Ahzab) pun tiba. Mereka sangat  berharap  bertemu Muhammad di  bukit Uhud, namun  tidak menemukannya. Pasukan musuh terus bergerak ke arah kota Madinah. Namun, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh adanya parit yang melingkar menghadang. Mereka bingung,  karena  belum pernah mengenal  jenis pertahanan  semacam  ini.  Lalu, Quraisy  dan pasukan  gabungan  itu membangun perkemahan di luar Madinah jauh di belakang parit. Abu Sufyan dan orang-orang  yang menyertainya meyakini bahwa mereka akan lama tinggal di depan parit tanpa bisa melakukan apa-apa, apalagi mencebur ke dalam parit. Waktu itu adalah musim dingin di mana angin bertiup kencang dan hawa dingin sangat membekukan. Lambat  laun, kelemahan merayapi mereka dan menganggap lebih baik pulang kembali melalui jalur semula.

Hayyi bin Akhthab selalu memperhatikan perkembangan pasukan gabungan yang direkayasanya. Dia berbicara kepada mereka bahwa dia akan meyakinkan Bani Quraizhah untuk membatalkan perjanjian yang telah mereka buat dengan Muhammad  dan  kaum Muslim  sekaligus mengajak mereka bergabung dengan pasukan gabungan kafir Quraisy. Jika Quraizhah mau melakukannya, maka bantuan kaum Muslim terputus dan jalan memasuki kota Madinah terbuka lebar.

Kafir Quraisy  dan Bani Ghathfan  amat  gembira mendengar rencana  itu. Hayyi bin Akhtab segera pergi menemui Ka’ab bin Asad, pemimpin Bani Quraizhah. Ketika Ka’ab menyadari maksud Hayyi, maka Ka’ab  segera menutup pintu bentengnya  tanpa mengajak dia masuk. Sementara itu, Hayyi terus berdiri di depan pintu hingga pintu benteng tersebut terbuka lagi dan serta merta dia berkata: “Celaka engkau, hai Ka’ab! Aku  datang  kepadamu dengan  kemenangan  abadi  dan  lautan kekayaan yang melimpah. Aku datang kepadamu beserta kaum Quraisy di  bawah  komando  dan  kepimimpinan mereka.  Juga  aku  datang kepadamu  beserta  Bani   Ghathfan  di   bawah  komando  dan kepemimpinannya. Mereka membuat  perjanjian  dan  kesepakatan kepadaku  untuk  tidak meninggalkan medan  perang  hingga mereka berhasil mencabut Muhammad dan orang-orangnya dari akar-akarnya.”

Ka’ab  bimbang,  karena   dia  ingat  kejujuran dan  konsistensi Muhammad dalam memenuhi janji dan merasa khawatir dengan akibat ajakan Hayyi. Akan  tetapi, Hayyi  tidak putus asa dan  terus-menerus mengingatkan  kepadanya berbagai penderitaan  yang menimpa  kaum Yahudi akibat  ulah Muhammad.  Juga menggambarkan  kepadanya tentang kekuatan pasukan Ahzab, hingga akhirnya Ka’ab pun menerima ajakan Hayyi dan membatalkan perjanjiannya dengan Muhammad dan kaum Muslim. Dengan demikian Bani Quraizhah telah bergabung dengan pasukan Ahzab, tanpa memberitahukannya lebih dulu kepada Rasul saw.

Peristiwa  tersebut akhirnya sampai juga kepada Rasul saw dan para sahabatnya. Mereka mengalami kegoncangan dan khawatir terhadap akibat tipu daya tersebut. Rasul saw segera mengutus Sa’ad bin Mu’adz (pemimpin Aus) dan Sa’ad bin ‘Ubadah (pemimpin Khazraj) yang disertai oleh  ‘Abdullah  bin Rawahah  dan Khuwat  bin  Jabir  untuk mencari kejelasan berita tersebut. Beliau berpesan kepada mereka jika benar Bani Quraizhah merusak perjanjiannya, hendaknya mereka merahasiakannya, sehingga kejadian itu tidak sempat memecah-belah masyarakat. Mereka cukup memberitahukan hal tersebut kepada beliau dengan isyarat dan surat. Ketika para utusan ini datang, mereka berusaha membujuk Bani
Quraizhah  dengan mengatakan  bahwa  apa  yang mereka  lakukan merupakan  perbuatan  pal ing  kotor.  Ketika  mereka  berusaha mengembalikan Bani Quraizhah pada perjanjian  semula, Ka’ab  justru menuntut mereka agar mengembalikan  kawan-kawan mereka Yahudi Bani Nadhir ke perkampungan mereka semula. Sementara itu Sa’ad bin Mu’adz,  yang  sebelumnya adalah  sekutu Bani Quraizhah, berusaha meyakinkan mereka untuk tetap berada di pihak Muhammad saw. Ka’ab
berkata:”Siapakah Rasuullah itu? Tidak ada perjanjian dan kesepakatan antara kami dengan Muhammad!” .

Utusan  ini kembali dan mengabarkan kepada Rasul mengenai apa  yang mereka  lihat.  Kekhawatiran  di  kalangan  kaum Muslim meningkat. Sementara itu pasukan Ahzab mempersiapkan dirinya untuk berperang. Adapun Bani Quraizhah meminta  tenggat waktu  kepada
pasukan Ahzab selama 10 hari guna menyiapkan pasukannya, sehingga pasukan Ahzab dapat memerangi kaum Muslim pada hari yang kesepuluh dengan  dahsyat.  Itulah  yang mereka  lakukan,  yaitu membentuk  tiga kesatuan  tempur untuk memerangi Nabi. Kesatuan tempur Ibnu al-A’war al-Sulamiy akan menyerang dari arah atas lembah dan kesatuan tempur ‘Uyayinah bin Hashan akan menyerang dari arah samping. Sedangkan Abu Sufyan akan menyerang dari arah parit. Kegoncangan  yang  luar biasa benar-benar menyelimuti kaum Muslim, pandangan mata menjadi kabur dan jantung mereka berdebar keras sangat ketakutan. Sementara di pihak  lain,  dukungan  terhadap  pasukan  gabungan  semakin  kuat. Kekuatan mereka sangat solid. Jiwa mereka terangkat penuh optimisme. Tidak  lama kemudian, mereka segera menghambur dan mencebur ke dalam parit. Sebagian pasukan penunggang kuda kafir Quraisy terpacu untuk segera menyerang, di antara mereka adalah ‘Amru bin ‘Abdu Wuda, ‘Ikrimah bin Abu Jahal dan Dharar bin al-Khaththab. Mereka melihat adanya satu celah sempit yang ada antara bukit dan parit, lalu mereka gunakan untuk melintas dan memecah pertahanan kaum Muslim.  ‘Ali bin Abi Thalib ra yang melihat hal itu segera keluar dalam sekelompok kecil kaum Muslim. Mereka memang mengambil celah yang dijadikan tempat untuk menerjunkan  kuda-kuda mereka. Kemudian  ‘Amru  bin ‘Abdu Wuda maju  seraya berteriak-teriak menantang duel. Ketika  ‘Ali bin Abi Thalib menyambut ajakan duelnya dan  turun  ke gelanggang, ‘Amru  bin  ‘Abdu Wuda  tertawa mengejek:  “Wahai  anak  saudaraku, mengapa  harus  kamu  yang  turun?! Demi  Allah,  aku  tidak  ingin membunuhmu!”. Ali ra. membalas keras: “Tetapi, demi Allah, aku sangat
ingin membunuhmu.

Keduanya  lalu menghunus pedang dan bertarung.  ‘Ali berhasil
membunuhnya. Akibatnya kuda-kuda pasukan Ahzab lari terpukul hingga tercebur ke dalam parit, kemudian mundur ke induk pasukan. Namun, kejadian itu tidak melemahkan jiwa pasukan Ahzab. Bahkan api semangat penyerangannya semakin berkobar hingga menggetarkan kaum Muslim.
Pasukan bantuan dari Bani Quraizhah mulai marah. Mereka keluar dari benteng-benteng mereka dan  turun  ke  pemukiman-pemukiman  kota Madinah  di  daerah  yang  dekat  dengan mereka  untuk meneror penduduknya. Keadaan  semakin mencekam,  kekhawatiran  semakin memuncak dan kegoncangan semakin meluas. Rasul saw justru semakin percaya dengan pertolongan Allah kepadanya. Di tengah suasana tersebut tiba-tiba Nu’aim bin Mas’ud yang baru masuk Islam, datang kepada Rasul saw untuk melemahkan semangat kaum kafir.

Nu’aim berangkat atas perintah Rasul menjumpai Bani Quraizhah. Mereka belum mengetahui bahwa Nu’aim sebenarnya sudah memeluk Islam. Mereka hanya mengenal bahwa Nu’aim adalah teman lama mereka di masa jahiliah. Nu’aim mengingatkan mereka tentang hubungan kasih sayang  yang  sudah  lama  terjalin di  antara  dirinya  dengan mereka. Kemudian dia  juga mengingatkan mereka, mengapa harus membantu kafir Quraisy  dan Ghathfan  untuk menyerang Muhammad.  Sangat mungkin  sekali Quraisy  dan Ghathfan  tidak akan  lama menduduki posisinya dan mereka akan segera pergi pulang. Mereka hanya membuat mimpi  tentang  bencana  yang  akan menimpa Muhammad. Padahal mereka  justru mengkhayalkan  bencana  yang  akan menimpa mereka sendiri. Nu’aim  juga menasihati agar mereka  tidak  ikut memerangi Muhammad bersama kaum Quraisy. Mereka telah memperoleh jaminan dengan apa saja yang dimiliki mereka dan tidak membantu kaum Quraisy dan Ghathfan. Bani Quraizhah akhirnya puas dan merasa yakin dengan apa yang dikatakan oleh Nu’aim.

Setelah  itu  Nu’aim  pergi  kepada  kaum  Quraisy.  Dia memberitahukan kepada mereka secara rahasia bahwa Bani Quraizhah menyesali perbuatan mereka yang telah melanggar perjanjiannya dengan Muhammad. Mereka  akan melakukan  apapun  demi  keridlaan Muhammad  dan memperoleh  kasih  sayangnya  dengan  cara  lebih mengutamakan  beliau  daripada  tokoh-tokoh Quraisy  yang  akan memenggal  leher mereka. Karena  itu, dia menasihati mereka  bahwa orang-orang  Yahudi  telah mengutusnya  kepada mereka  untuk memperoleh  jaminan dari pemuka Quraisy supaya tidak mengirimkan utusan seorangpun. Hal yang sama Nu’aim lakukan terhadap Ghathfan, sebagaimana yang telah dilakukannya kepada kaum Quraisy. Keraguan merayap dalam jiwa orang-orang Arab dari kalangan Yahudi. Akhirnya Abu Sufyan mengirimkan surat kepada Ka’ab dan mengabarkan: “Sudah lama kami melakukan pendudukan dan pengepungan kepada laki-laki ini  (Muhammad). Aku melihat  kalian bersandar  kepadanya di waktu besok,  sementara  kami berada di belakang  kalian.” Ka’ab menjawab, “Besok hari Sabtu dan kami tidak dapat berperang maupun melakukan pekerjaan di hari Sabtu.”

Abu Sufyan marah dan membenarkan cerita Nu’aim. Kemudian dia meminta  kembali  utusan  itu  untuk menemui Quraizhah  dan mengatakan kepada mereka, “Jadikanlah oleh kalian suatu hari Sabtu lain  untuk menggantikan  hari Sabtu  ini,  karena Sabtu  besok  harus memerangi Muhammad.  Jika  kami  keluar untuk memeranginya dan kalian tidak bersama kami, maka kami melepaskan diri dari persekutuan kalian. Dan kami akan memerangi kalian dahulu sebelum Muhammad.”

Mendengar ucapan Abu Sufyan semacam ini, Quraizhah kembali menegaskan tekadnya bahwa mereka tidak bisa melanggar hari Sabtu. Kemudian mereka memberi  isyarat adanya  jaminan,  sehingga merasa tenang dengan kepastian tempat kembali mereka. Mendengar jawaban demikian, Abu  Sufyan  tidak  ragu-ragu  lagi  dengan  cerita Nu’aim. Malamnya dia berpikir apa yang harus dilakukan. Abu Sufyan akhirnya memutuskan harus berbicara pada Ghathfan. Namun, dia mendapati bahwa Ghathfan  juga  ragu-ragu untuk maju memerangi Muhammad. Pada  tengah malamnya,  tiba-tiba Allah mengirimkan  kepada mereka angin topan bercampur petir disertai hujan yang sangat lebat. Kemah-kemah mereka porak  poranda. Periuk  dan perkakas  dapur  terbalik tumpang tindih. Ketakutan merasuki jiwa mereka. Dalam pikiran mereka terbayang bahwa kaum Muslim pasti segera mengambil kesempatan ini untuk menyeberangi parit lalu menyerang mereka. Thalihah berdiri dan berteriak lantang, “Muhammad telah memulai menyerang kalian dengan keras! Karena itu, selamatkanlah diri kalian!” Abu Sufyan pun tidak mau
diam. Dia  segera memberi  komando pasukannya,  “Hai orang-orang Quraisy,  kembalilah! Sesungguhnya  aku  juga  segera  kembali.” Kaum Quraisy  segera  pergi  dengan  rasa  ringan. Kemudian Ghathfan dan pasukan Ahzab menyusul pulang. Pagi harinya tidak satupun dari mereka yang  tersisa. Ketika Rasul  saw melihat  keadaan  ini, beliau dan  kaum Muslim  segera kembali ke kota Madinah. Allah  telah memenuhi  janji-Nya  kepada  orang-orang  yang  beriman  untuk memenangkan peperangan.

Rasul saw memperoleh keleluasaan dari ancaman serangan kafir Quraisy dan Allah  telah memberikan  kemenangan  kepadanya dalam pertempuran. Kemudian beliau memandang harus segera menghentikan sepak  terjang Bani Quraizhah. Mereka  telah membatalkan perjanjian dengan beliau dan bersekongkol untuk memerangi kaum Muslim. Karena itu, beliau saw memerintahkan seorang muadzin untuk menyampaikan pesan beliau kepada masyarakat: “Siapa saja yang mendengar dan taat, maka janganlah mereka shalat ‘Asar kecuali telah tiba di Bani Quraizhah.” Dengan mengangkat bendera,  ‘Ali segera berangkat untuk menyerang Bani Quraizhah. Pasukan  yang   menyertai  ‘Ali  ra merasa  ringan dan dalam  keadaan  riang  gembira. Mereka  terus bergerak hingga  tiba  di daerah Bani Quraizhah, lalu mengepung mereka dengan rapat selama 25 malam berturut-turut. Yahudi Quraizhah mengirimkan utusan kepada Rasul  saw,  lalu  berunding  dengan  bel iau.  Setelah  itu mereka melaksanakan keputusan Sa’ad bin Mu’adz yang menetapkan hukuman agar mereka membunuh musuh  yang memerangi  kaum Muslim, membagi-bagikan kekayaan mereka serta menjadikan para wanita dan
anak-anak sebagai tawanan. Keputusan ini dapat dilaksanakan sempurna dan dengan demikian penyelesaian untuk masalah kabilah tersebut telah dilakukan. Sehingga Madinah bersih darinya.

Dengan hancurnya tentara Ahzab, maka berakhir sudah upaya perlawanan baru yang terakhir dari kafir Quraisy untuk menghadapi dan memerangi Rasul  saw. Dengan menghukum Bani Quraizhah,  beliau berhasil membersihkan  tiga  kabilah Yahudi  yang bercokol  di  sekitar
Madinah, di mana mereka telah mengikat perjanjian dengan Nabi lalu merusaknya. Dengan demikian, kedudukan Rasul saw dan kaum Muslim di Madinah dan sekitarnya menjadi stabil. Hal itu menyebabkan bangsa Arab takut dan gentar kepada kaum Muslim tetangga mereka.(dari kitab: Daulah Islam, Taqiyuddin An-Nabhani; Penerjemah, Umar Faruq)
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

PERANG BADAR

Pada 8 Ramadhan tahun kedua Hijriyah, Nabi saw bersama para sahabatnya keluar dari Madinah. Beliau menugaskan ‘Amru bin Ummi Maktum untuk mengimami shalat bersama masyarakat dan Abu  Lubabah menjadi  penguasa Madinah.  Rombongan  tersebut berjumlah  305  orang, ditambah 70  orang  berkendaraan  unta  yang ditunggangi  secara  bergiliran.  Setiap  dua,  tiga,  dan  empat  orang menunggangi seekor unta secara bergiliran.

Mereka berangkat dengan  target operasi  kafilah Abu Sufyan. Mereka terus berjalan sambil menyelidiki berbagai berita tentang kafilah tersebut,  hingga  tiba di  suatu  lembah  yang dinamakan Dzafiran,  lalu mereka berhenti di sana. Di tempat tersebut diperoleh kabar bahwa kafir Quraisy telah berangkat keluar dari kota Makkah untuk melindungi unta-unta mereka. Saat itu bentuk permasalahannya mengalami perubahan, yaitu  apakah  akan  terus menghadapi  kafir Quraisy,  atau  tidak.Persoalannya  tidak  lagi  tentang  kafilah Abu Sufyan. Kemudian Rasul saw bermusyawarah dengan kaum Muslim dan menyampaikan kepada mereka informasi yang sampai kepada beliau tetang Quraisy. Abu Bakar dan Umar mengajukan pendapatnya. Kemudian Miqdad  bin  ‘Amru berkata,  “Wahai  Rasulullah  laksanakanlah  apa  yang  telah  Allah perintahkan kepada anda. Kami semua menyertai anda dan demi Allah,kami tidak akan mengatakan kepada anda seperti yang pernah dikatakan oleh Bani  Israil  kepada Musa:  ‘Pergilah  kamu  dengan Tuhanmu dan berperanglah kalian berdua, sementara itu kami di sini saja sambil duduk-duduk’. Akan tetapi kami akan mengatakan kepada anda: ‘Pergilah anda bersama Tuhan anda dan berperanglah kalian berdua dan kami bersama kalian berdua ikut berperang.’ Demi Dzat Yang mengutus anda dengan benar, seandainya anda mengajak kami berjalan melintasi lembah-lembah berair, pasti kami menyertai anda hingga sampai di tujuan.” Kaum Muslimin pun  terdiam,  lalu Rasul saw bersabda, “Wahai manusia, bantulah diriku!” Ucapan tersebut sebenarnya ditujukan kepada kaum Anshar, yang  telah memberikan bai’at kepada beliau pada hari Aqabah. Mereka  telah berjanji akan melindungi Rasul saw dari segala hal (yang membahayakannya), sebagaimana mereka melindungi anak-anak  dan  istri-istri mereka.  Beliau  khawatir  kaum  Anshar  tidak memandang perlu untuk menolong dirinya, kecuali bila gangguan dari musuh beliau tersebut terjadi di Madinah. Ketika kaum Anshar menyadari bahwa yang beliau maksud adalah diri mereka, maka Sa’ad bin Mu’adz yang  pemegang  panji Anshar menoleh  kepada Rasulullah  saw dan berkata, “Demi Allah, seakan-akan yang anda maksud adalah kami, wahai Rasulullah!”. Rasul menjawab: “Tentu saja”.

Sa’ad  berkata  lagi:  “Kami  sungguh-sungguh mengimani  dan membenarkanmu. Kami bersaksi bahwa  apa  yang  engkau  datangkan adalah benar. Atas dasar itu, kami memberikan kepada engkau janji dan kebulatan  tekad untuk selalu mendengar dan menaati engkau. Karena
itu, lakukanlah wahai Rasulullah apa yang engkau inginkan, maka kami tetap bersama engkau. Demi Dzat Yang mengutus engkau, seandainya engkau mengajak kami menyeberangi lautan  ini, lalu engkau  terjun ke dalamnya, pasti kami  turut  terjun bersama engkau. Tidak seorang pun
dari kami yang akan berbalik dan kami tidak benci jika besok hari engkau mempertemukan kami dengan musuh kami. Sesungguhnya kami pasti sabar  dalam  peperangan,  benar  dalam  pertemuan.  Semoga Allah memperlihatkan kepadamu sesuatu dari kami yang dapat menenangkan
matamu. Berjalanlah  bersama  kami  dengan  naungan berkah Allah.” Belum lagi Sa’ad selesai menyempurnakan ucapannya, tiba-tiba wajah Beliau saw yang mulia memancarkan cahaya kebahagiaan dan bersabda: “Berjalanlah  kalian  dan  bergembiralah,  karena  Allah  Swt  telah menjanjikan  kepadaku  salah  satu  dari  dua  kelompok. Demi Allah, sekarang seakan-akan aku melihat para kesatria.”

Pasukan  pun  berangkat  bersama-sama  hingga  saat mereka mendekati Badar, mereka mengetahui bahwa pasukan kafir Quraisy telah dekat dengan mereka. Rasul mengutus Ali bin Abi Thalib, Zubair bin ‘Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqash dalam satu rombongan kecil sahabat menuju mata  air  yang ada di Badar  guna mencari  informasi  tentang pasukan musuh. Mereka  kembali  bersama dua orang pemuda. Dari informasi keduanya diketahui bahwa jumlah pasukan kafir Quraisy antara 700  hingga  1.000  orang.  Semua  pembesar Quraisy  keluar  untuk memerangi  beliau. Dengan  demikian  beliau mengetahui  bahwa  di hadapannya ada sekelompok pasukan yang berjumlah tiga kali lipat dari pasukannya. Beliau pun menunggu peperangan yang dahsyat di tempat yang akan menjadi medan pertumpahan darah. Beliau memberitahukan kaum Muslim bahwa Makkah telah memberikan sepotong hatinya kepada mereka. Mereka harus membulatkan tekad untuk menghadapi keadaan yang gawat. Kaum Muslim pun sepakat untuk memantapkan diri mereka dalam menghadapi musuh. Mereka berhasil menguasai mata air di Badar dan membangun  tempat  penampungan  air  serta mengisinya  hingga penuh. Sementara sumur-sumur di belakangnya dibiarkan tidak terpakai agar mereka  dapat minum,  sementara musuh mereka  tidak  dapat melakukannya. Kaum Muslim membangun pos komando untuk Rasul saw, agar beliau bisa tinggal di dalamnya untuk memberi komando kepada
pasukan. Adapun  kaum Quraisy menduduki beberapa  tempat-tempat pertempuran dan siap menghadapi kaum Muslim.

Perang  dimulai  dengan  duel. Aswad  bin  ‘Abdul Al-Asad Al- Makhzumiy dari barisan kafir Quraisy maju ke arah barisan kaum Muslim untuk menghancurkan tempat penampungan air yang telah dibangun. Seketika itu juga Hamzah bin ‘Abdul Muthalib menghadangnya dengan
pukulan  yang  keras  sehingga orang  itu  jatuh  terhempas dengan  kaki berlumuran darah. Kemudian Hamzah memburunya dengan pukulan lain sehingga dia tercebur tewas dalam tempat penampungan air tersebut. Kemudian ‘Uthbah bin Rabi’ah keluar diapit oleh saudaranya, Syaibah, dan anaknya, al-Walid. Hamzah bin Abdul Muthalib, ‘Ali bin Abi Thalib dan  ‘Ubaidah bin Harits  keluar menyongsong mereka. Hamzah  tidak membiarkan Syaibah lolos dan ‘Ali mendapat giliran menghadapi Walid. Tidak berapa lama, kedua orang sahabat ini berhasil membunuh kedua musuhnya. Lalu keduanya segera menghampiri dan membantu Ubaidah
yang nyaris terbunuh di tangan ‘Uthbah.

Untuk  sejenak kedua belah pihak menghentikan pertempuran, lalu bertempur kembali pada Jumat pagi  tanggal 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriyah. Rasul berdiri memimpin  pasukan  kaum Muslim  untuk membenahi  barisan mereka  dan menggiringnya  untuk  berperang. Kekuatan kaum Muslim semakin bertambah dengan seruan-seruan jihad Rasul saw kepada mereka. Apalagi beliau sendiri berada di tengah-tengah mereka. Kaum Muslim semakin mengganas dan mengobarkan perang dengan  gemuruh. Udara memanas  dan  peperangan menjadi  lebih dahsyat. Keadaan tersebut menjadikan para pemuka kafir Quraisy harus mempertahankan keselamatan dirinya masing-masinng. Sementara kaum Muslim  semakin bertambah  kekuatan  iman mereka dan meneriakkan kata-kata ahad  ... ahad. Rasul  selalu berada di  tengah-tengah mereka dan sesekali mengambil segenggam pasir lalu melemparkannya ke arah kafir Quraisy  seraya mengucapkan,  “Terhinalah wajah-wajahnya!”

Sementara kepada para sahabatnya beliau mengucapkan, “Bertahanlah kalian!” Semangat kaum Muslim makin berkobar sehingga pertempuran bergeser memihak  kaum Muslim. Kafir Quraisy  sendiri  lari  tunggang langgang, sebagian ada yang terbunuh dan sebagaian lagi tertawan. Hal tersebut menjadi kemenangan yang memperkokoh kaum Muslim. Mereka lalu pulang  ke Madinah dengan membawa  kekuatan  yang  semakin bertambah.(dari kitab: Daulah Islam, Taqiyuddin An-Nabhani; Penerjemah, Umar Faruq)
.........Lihat Selengkapnya

gravatar

Definisi Khilafah

Secara ringkas, Imam Taqiyyuddin An Nabhani mendefinisikan Khilafah sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (Taqiyyuddin An Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam).

Dari definisi ini, jelas bahwa Khilafah hanya ada satu untuk seluruh dunia. Karena nas-nas syara’ (nushush syar’iyah) memang menunjukkan kewajiban umat Islam untuk bersatu dalam satu institusi negara. Sebaliknya haram bagi mereka hidup dalam lebih dari satu negara.

Apa Hukumnya Mendirikan Khilafah?

Kewajiban tersebut didasarkan pada nas-nas al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas. Dalam al-Qur`an Allah SWT berfirman:

“Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai…” (QS. Ali-’Imran [3]: 103).

Rasulullah SAW dalam masalah persatuan umat ini bersabda: “Barangsiapa mendatangi kalian -sedang urusan (kehidupan) kalian ada di bawah kepemimpinan satu orang (Imam/Khalifah)- dan dia hendak memecah belah kesatuan kalian, dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka bunuhlah dia!” [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: “Jika dibai’at dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain yang hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].

Di samping itu, Rasulullah SAW menegaskan pula dalam perjanjian antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan Yahudi: “Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad -Nabi antara orang-orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib- serta yang mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjihad bersama-sama mereka – bahwa mereka adalah umat yang satu, di luar golongan orang lain…” (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, Jilid II, hal. 119).

Nas-nas al-Qur`an dan as-Sunnah di atas menegaskan adanya kewajiban bersatu bagi kaum muslimin atas dasar Islam -bukan atas dasar kebangsaan atau ikatan palsu lainnya yang diciptakan penjajah kafir- di bawah satu kepemimpinan, yaitu seorang Khalifah. Dalil-dalil di atas juga menegaskan keharaman berpecah-belah, di samping menunjukkan pula jenis hukuman syar’i bagi orang yang berupaya memecah-belah umat Islam menjadi beberapa negara, yaitu hukuman mati.

Selain al-Quran dan as-Sunnah, Ijma’ Sahabat pun menegaskan pula prinsip kesatuan umat di bawah kepemimpinan seorang Khalifah. Abu Bakar Ash Shiddiq suatu ketika pernah berkata, “Tidak halal kaum muslimin mempunyai dua pemimpin (Imam).” Perkataan ini didengar oleh para Sahabat dan tidak seorang pun dari mereka yang mengingkarinya, sehingga menjadi ijma’ di kalangan mereka.

Bahkan sebahagian fuqoha menggunakan Qiyas ‘sumber hukum keempat’ untuk menetapkan prinsip kesatuan umat. Imam Al Juwaini berkata, “Para ulama kami (mazhab Syafi’i) tidak membenarkan akad Imamah (Khilafah) untuk dua orang… Kalau terjadi akad Khilafah untuk dua orang, itu sama halnya dengan seorang wali yang menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki!”

Artinya, Imam Juwaini mengqiyaskan keharaman adanya dua Imam bagi kaum muslimin dengan keharaman wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang lelaki yang akan menjadi suaminya. Jadi, Imam/Khalifah untuk kaum muslimin wajib hanya satu, sebagaimana wali hanya boleh menikahkan seorang perempuan dengan satu orang laki-laki, tidak boleh lebih. (Lihat Dr. Muhammad Khair, Wahdatul Muslimin fi Asy Syari’ah Al Islamiyah, majalah Al Wa’ie, hal. 6-13, no. 134, Rabi’ul Awal 1419 H/Julai 1998 M)

Jelaslah bahwa kesatuan umat di bawah satu Khilafah adalah satu kewajiban syar’i yang tak ada keraguan lagi padanya. Karena itu, tidak mengherankan bila para imam-imam mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bersepakat bulat bahwa kaum muslimin di seluruh dunia hanya boleh mempunyai satu orang Khalifah, tidak boleh lebih:

“…para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) –rahimahumullah– bersepakat pula bahawa kaum mulimin di seluruh dunia pada saat yang sama tidak dibenarkan mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat maupun tidak.” (Lihat Syaikh Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 416) Hukum menegakkan Khilafah itu sendiri adalah wajib, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan imam-imam mazhab dan mujtahid-mujtahid besar yang alim dan terpercaya.

Dalil-Dalil Wajibnya Khilafah

Siapapun yang menelaah dalil-dalil syar’i dengan cermat dan ikhlas akan menyimpulkan bahwa menegakkan Khilafah hukumnya wajib atas seluruh kaum muslimin. Di antara argumentasi syar’i yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut :

Dalil Al-Quran

Di dalam al-Quran memang tidak terdapat istilah Daulah yang berarti negara. Tetapi di dalam al-Quran terdapat ayat yang menunjukkan wajibnya umat memiliki pemerintahan/negara (ulil amri) dan wajibnya menerapkan hukum dengan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisaa` [4]: 59).

Ayat di atas telah memerintahkan kita untuk menaati Ulil Amri, yaitu Al Haakim (Penguasa). Perintah ini, secara dalalatul iqtidha`, berarti perintah untuk mengadakan atau mengangkat Ulil Amri, seandainya Ulil Amri itu tidak ada, tidak mungkin Allah memerintahkan kita untuk menaati pihak yang eksistensinya tidak ada. Allah juga tidak mungkin mewajibkan kita untuk menaati seseorang yang keberadaannya berhukum mandub.

Maka menjadi jelas bahwa mewujudkan ulil amri adalah suatu perkara yang wajib. Tatkala Allah memberi perintah untuk menaati ulil amri, berarti Allah memerintahkan pula untuk mewujudkannya. Sebab adanya ulil amri menyebabkan terlaksananya kewajiban menegakkan hukum syara’, sedangkan mengabaikan terwujudnya ulil amri menyebabkan terabaikannya hukum syara’. Jadi mewujudkan ulil amri itu adalah wajib, kerana kalau tidak diwujudkan akan menyebabkan terlanggarnya perkara yang haram, yaitu mengabaikan hukum syara’ (tadhyii’ al hukm asy syar’ie).

Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk mengatur urusan kaum muslimin berdasarkan hukum-hukum yang diturunkan Allah SWT. Firman Allah SWT:

“Maka putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (dengan) meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 48).

“Dan putuskanlah perkara di antara di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari apa yang telah diturunkan Allah kepadamu” (QS. Al-Ma’idah [5]: 49).

Dalam kaedah ushul fiqh dinyatakan bahwa, perintah (khithab) Allah kepada Rasulullah juga merupakan perintah kepada umat Islam selama tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya untuk Rasulullah (Khithabur rasuli khithabun li ummatihi malam yarid dalil yukhashishuhu bihi). Dalam hal ini tidak ada dalil yang mengkhususkan perintah tersebut hanya kepada Rasulullah SAW.

Oleh kerana itu, ayat-ayat tersebut bersifat umum, yaitu berlaku pula bagi umat Islam. Dan menegakkan hukum-hukum yang diturunkan Allah, tidak mempunyai makna lain kecuali menegakkan hukum dan pemerintahan (as sultan), sebab dengan pemerintahan itulah hukum-hukum yang diturunkan Allah dapat diterapkan secara sempurna. Dengan demikian, ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya keberadaan sebuah negara untuk menjalankan semua hukum Islam, yaitu negara Khilafah.

Dalil As-Sunah

Abdullah bin Umar meriwayatkan, “Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menemui Allah di Hari Kiamat dengan tanpa alasan. Dan barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” [HR. Muslim].

Nabi SAW mewajibkan adanya bai’at pada leher setiap muslim dan mensifati orang yang mati dalam keadaan tidak berbai’at seperti matinya orang-orang jahiliyyah. Padahal bai’at hanya dapat diberikan kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Jadi hadis ini menunjukkan kewajiban mengangkat seorang Khalifah, yang dengannya dapat terwujud bai’at di leher setiap muslim. Sebab bai’at baru ada di leher kaum muslimin kalau ada Khalifah/Imam yang memimpin Khilafah.

Rasulullah SAW bersabda: “Bahawasanya Imam itu bagaikan perisai, dari belakangnya umat berperang dan dengannya umat berlindung.” [HR. Muslim]

Rasulullah SAW bersabda: “Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak.” Para Sahabat bertanya, ’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajiban mereka.” [HR. Muslim].

Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang melihat sesuatu yang tidak disukai dari amirnya (pemimpinnya), maka bersabarlah. Sebab barangsiapa memisahkan diri dari penguasa (pemerintahan Islam) walau sejengkal saja lalu ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR. Muslim].

Hadis pertama dan kedua merupakan pemberitahuan (ikhbar) dari Rasulullah SAW bahwa seorang Khalifah adalah laksana perisai, dan bahwa akan ada penguasa-penguasa yang memerintah kaum muslimin. Pernyataan Rasulullah SAW bahawa seorang Imam itu laksana perisai menunjukkan pemberitahuan tentang adanya faedah-faedah keberadaan seorang Imam, dan ini merupakan suatu tuntutan (thalab). Sebab, setiap pemberitahuan yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, apabila mengandung celaan (adz dzamm) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk meninggalkan (thalab at tarki), atau merupakan larangan (an nahy); dan apabila mengandung pujian (al mad-hu) maka yang dimaksud adalah tuntutan untuk melakukan perbuatan (thalab al fi’li). Dan kalau pelaksanaan perbuatan yang dituntut itu menyebabkan tegaknya hukum syara’ atau jika ditinggalkan mengakibatkan terabaikannya hukum syara’, maka tuntutan untuk melaksanakan perbuatan itu berarti bersifat pasti (fardu). Jadi hadis pertama dan kedua ini menunjukkan wajibnya Khilafah, sebab tanpa Khilafah banyak hukum syara’ akan terabaikan.

Hadis ketiga menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahwa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib.

Rasulullah SAW bersabda pula : “Barangsiapa membai’at seorang Imam (Khalifah), lalu memberikan genggaman tangannya dan menyerahkan buah hatinya, hendaklah ia menaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang orang lain hendak mencabut kekuasaannya, penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].

Dalam hadis ini Rasululah SAW telah memerintahkan kaum muslimin untuk menaati para Khalifah dan memerangi orang-orang yang merebut kekuasaan mereka. Perintah Rasulullah ini berarti perintah untuk mengangkat seorang Khalifah dan memelihara kekhilafahannya dengan cara memerangi orang-orang yang merebut kekuasaannya. Semua ini merupakan penjelasan tentang wajibnya keberadaan penguasa kaum muslimin, yaitu Imam atau Khalifah. Sebab kalau tidak wajib, niscaya tidak mungkin Nabi SAW memberikan perintah yang begitu tegas untuk memelihara eksistensinya, yaitu perintah untuk memerangi orang yang akan merebut kekuasaan Khalifah.

Dengan demikian jelaslah, dalil-dalil As Sunnah ini telah menunjukkan wajibnya Khalifah bagi kaum muslimin.

Dalil Ijma’ Sahabat

Sebagai sumber hukum Islam ketiga, Ijma’ Sahabat menunjukkan bahwa mengangkat seorang Khalifah sebagai pemimpin pengganti Rasulullah SAW hukumnya wajib. Mereka telah sepakat mengangkat Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Ijma’ Sahabat yang menekankan pentingnya pengangkatan Khalifah, nampak jelas dalam kejadian saat mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan lebih mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebagian di antaranya justru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.

Demikian pula bahawa seluruh Sahabat selama hidup mereka telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah. Walaupun sering muncul perbedaan pendapat mengenai siapa yang tepat untuk dipilih dan diangkat menjadi Khalifah, namun mereka tidak pernah berselisih pendapat sedikit pun mengenai wajibnya mengangkat seorang Khalifah, baik ketika wafatnya Rasulullah SAW maupun ketika pergantian masing-masing Khalifah yang empat. Oleh kerana itu Ijma’ Sahabat merupakan dalil yang jelas dan kuat mengenai kewajiban mengangkat Khalifah.

Dalil Dari Kaedah Syar’iyah

Ditilik dari analisis kaedah fiqih, mengangkat Khalifah juga wajib. Dalam usul fiqh dikenal kaedah syar’iyah yang disepakati para ulama yang berbunyi :

maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa waajib

“Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya.”

Menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah SWT dalam segala aspeknya adalah wajib. Sementara hal ini tidak dapat dilaksanakan dengan sempurna tanpa adanya kekuasaan Islam yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Maka dari itu, berdasarkan kaedah syar’iyah tadi, eksistensi Khilafah hukumnya menjadi wajib.

Jelaslah, berbagai sumber hukum Islam tadi menunjukkan bahwa menegakkan Daulah Khilafah merupakan kewajiban dari Allah SWT atas seluruh kaum muslimin.

Pendapat Para Ulama

Seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (Imamah). Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 362 :

“Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya…”

Tidak hanya kalangan Ahlus Sunnah saja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah ‘termasuk Khawarij dan Mu’tazilah’ tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang Khalifah. Kalau pun ada segelintir orang yang tidak mewajibkan Khilafah, maka pendapatnya itu tidak perlu ditolak, kerana bertentangan dengan nas-nas syara’ yang telah jelas.

Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar jilid 8 hal. 265 menyatakan: “Menurut golongan Syiah, minoriti Mu’tazilah, dan Asy A’riyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syara’.” Ibnu Hazm dalam Al Fashl fil Milal Wal Ahwa’ Wan Nihal juz 4 hal. 87 mengatakan: “Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji`ah, seluruh Syi’ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah).”

Bahwa Khilafah adalah sebuah ketentuan hukum Islam yang wajib, bukan haram apalagi bid’ah – dapat kitab temukan dalam khazanah Tsaqafah Islamiyah yang sangat kaya. Berikut ini sekelumit saja rujukan yang menunjukkan kewajiban Khilafah :

Imam Al Mawardi, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal. 5,

Abu Ya’la Al Farraa’, Al Ahkamush Shulthaniyah, hal.19,

Ibnu Taimiyah, As Siyasah Asy Syar’iyah, hal.161,

Ibnu Taimiyah, Majmu’ul Fatawa, jilid 28 hal. 62,

Imam Al Ghazali, Al Iqtishaad fil I’tiqad,hal. 97,

Ibnu Khaldun, Al Muqaddimah, hal.167,

Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1 hal.264,

Ibnu Hajar Al Haitsami, Ash Shawa’iqul Muhriqah, hal.17,

Ibnu Hajar A1 Asqallany, Fathul Bari, juz 13 hal. 176,

Imam An Nawawi, Syarah Muslim, juz 12 hal. 205,

Dr. Dhiya’uddin Ar Rais, Al Islam Wal Khilafah, hal.99,

Abdurrahman Abdul Khaliq, Asy Syura, hal.26,

Abdul Qadir Audah, Al Islam Wa Audla’una As Siyasiyah, hal. 124,

Dr. Mahmud Al Khalidi, Qawaid Nizham Al Hukum fil Islam, hal. 248,

Sulaiman Ad Diji, Al Imamah Al ‘Uzhma, hal.75,

Muhammad Abduh, Al Islam Wan Nashraniyah, hal. 61,

dan masih banyak lagi yang lainnya.

Adapun buku-buku yang mengingkari wajibnya Khilafah –seperti Al Islam Wa Usululul Hukm oleh Ali Abdur Raziq, Mabadi` Nizham Al Hukmi fil Islam oleh Abdul Hamid Mutawalli, Tidak Ada Negara Islam oleh Nurcholis Madjid– sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai buku yang serius dan bermutu. Sebab isinya bertentangan dengan nas-nas syara’ yang demikian jelas dan terang. Buku-buku seperti ini tak lain hanya sampah yang kotor yang merupakan penyambung lidah kaum kafir penjajah dan agen-agennya yaitu para penguasa muslim yang zalim yang selalu memaksakan sekularisme kepada umat Islam dengan berbagai argumentasi palsu yang berkedok studi “ilmiah” atau studi “sosiohistori-objektif”, dengan tujuan untuk menghapuskan hukum-hukum Allah dari muka bumi dengan cara menghapuskan ide Khilafah yang bertanggung jawab melaksanakan hukum-hukum tersebut. (khilafahpublications)
.........Lihat Selengkapnya

Followers